Don't Show Again Yes, I would!

Mengapa Bunuh Diri Terus Terjadi? Saatnya Bicara Tanpa Takut

Ilustrasi (Ist)

LiteX.co.id, Ragam – Berita penemuan Dudes Harianto (33) yang tewas tergantung di samping rumahnya di Jalan Tandipau Lorong 3, Kelurahan Tomarundung, Kecamatan Wara, Kota Palopo pada Jumat pagi (4/4/2025) menambah daftar panjang kasus bunuh diri di kota Palopo.

Peristiwa ini makin mempertegas pola mencemaskan yang terjadi di Kota Palopo, dimana setiap dua bulan terdapat kasus bunuh diri—dari Desember 2024 hingga April 2025.

Sebelumnya, pada 21 Februari 2025, Sawanto (30) juga ditemukan tewas dalam kondisi serupa di Kompleks Perumnas, Kelurahan Rampoang, Kecamatan Bara.

Dan pada Desember 2024, Robin Oya (30), seorang wiraswasta asal Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya di Jalan Jenderal Sudirman.

Rangkaian peristiwa ini mengundang pertanyaan mendalam: Mengapa seseorang sampai nekat mengakhiri hidupnya? Apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran dan batin mereka yang memilih jalan ini?

Di Balik Keputusan Mengakhiri Hidup

Bunuh diri bukan sekadar tindakan menyerah. Ini adalah puncak dari pergulatan batin yang kompleks, dimana seseorang merasa kesakitan psikis yang dialaminya sudah tak tertahankan lagi.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 90% kasus bunuh diri berkaitan dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan bipolar, atau skizofrenia.

“Orang-orang yang bunuh diri sebenarnya tidak ingin mati. Mereka hanya ingin menghentikan rasa sakit yang tak tertahankan,” ungkap psikolog Anna Surti Ariani.

Rasa sakit emosional yang mendalam ini sering kali tidak tampak dari luar, tersembunyi di balik senyuman atau sikap normal sehari-hari.

Faktor pemicu bunuh diri sangat beragam. Mulai dari tekanan ekonomi, masalah hubungan, trauma masa lalu, penyakit kronis, hingga perasaan terisolasi dan kesepian.

Di era digital, tekanan dari media sosial dan cyberbullying juga semakin memperburuk kesehatan mental, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Potret Bunuh Diri dalam Budaya Populer

Serial Netflix “13 Reasons Why” yang dirilis pertama kali pada 31 Maret 2017 telah membuka diskusi publik yang lebih luas tentang isu bunuh diri.

Serial ini bercerita tentang Hannah Baker, seorang siswi SMA yang bunuh diri dan meninggalkan 13 rekaman kaset berisi alasan di balik keputusannya.

Meskipun menuai kontroversi karena adegan-adegan sensitifnya, serial ini berhasil mengangkat tema penting seperti perundungan, perkosaan, dan tekanan sosial yang dialami remaja.

“13 Reasons Why” juga menyoroti bagaimana tindakan dan perkataan seseorang, sekecil apapun, dapat berdampak besar pada kesehatan mental orang lain.

Seperti diungkapkan dalam serial tersebut: “Kamu tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan seseorang selain kehidupanmu sendiri. Ketika kamu mengacaukan satu bagian dari kehidupan seseorang, kamu mengacaukan seluruh hidupnya. Segala sesuatu… mempengaruhi segalanya.”

Kutipan ini merefleksikan bagaimana seringkali kita tidak menyadari dampak dari tindakan kita terhadap orang lain.

Sebuah sindiran, gosip, atau pengabaian yang tampak remeh bagi kita mungkin menjadi beban berat bagi mereka yang sudah dalam kondisi rapuh.

Musik dan Ekspresi Keputusasaan

Di Jepang, musisi seperti Aimyon telah lama mengekspresikan pergulatan batin dan keputusasaan melalui lirik-lirik lagu yang dalam.

Dalam lagunya “Ikiteitandayona”, Aimyon mengkritisi bagaimana orang-orang hanya peduli setelah seseorang meninggal bunuh diri, bukan ketika mereka masih hidup dan mungkin membutuhkan bantuan.

“Tapi ia hidup!” teriak Aimyon dalam lagunya. “Ia hidup, berkali-kali, lagi dan lagi, menghidupi hidupnya sepenuhnya, sebelum memutuskan untuk meninggalkan dunia.”

Pesan Aimyon jelas: di mana orang-orang ini saat korban masih hidup? Mengapa baru membicarakannya setelah ia tiada?.

Ini menjadi kritik tajam terhadap masyarakat yang sering abai terhadap tanda-tanda depresi dan keinginan bunuh diri pada orang di sekitar mereka.

Fenomena Global yang Mengkhawatirkan

Data terbaru dari WHO menunjukkan bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun, menjadikannya penyebab kematian ke-17 secara global.

Angka ini mengalami peningkatan signifikan pasca pandemi COVID-19, yang memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat melalui isolasi sosial, ketidakpastian ekonomi, dan berbagai faktor stres lainnya.

Di Indonesia, menurut data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, selama tahun 2024 saja telah terjadi 849 kasus bunuh diri.

Masalah ekonomi dan sosial menjadi faktor utama yang mendorong seseorang mengakhiri hidupnya.

Stigma terhadap gangguan mental masih menjadi penghalang besar.

Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dihakimi, di-bully, atau merasa malu.

Selain itu, akses ke layanan kesehatan mental yang berkualitas masih terbatas, terutama di daerah pedesaan atau kota-kota kecil seperti Palopo.

Mencegah Tindakan Bunuh Diri

Psikolog Anna Surti Ariani menekankan pentingnya aktivitas fisik dan paparan sinar matahari sebagai pertolongan pertama untuk mencegah pikiran bunuh diri.

“Menjaga tubuh tetap aktif misalnya mencoba jalan pagi kena matahari atau sibuk beberes rumah. Tubuh yang agak aktif cenderung memperlancar peredaran darah,” katanya.

Nina juga menambahkan pentingnya pola makan sehat dan komunikasi terbuka.

“Jangan sungkan untuk bercerita pada orang lain tentang tekanan yang dialami,” sarannya.

Meski lawan bicara mungkin belum bisa memberikan solusi, dengan bercerita beban perasaan tertekan atau stres bisa lebih berkurang.

Seperti yang ditulis Syahid Muhammad dalam novelnya “Manusia dan Badainya”: “Orang-orang yang butuh pertolongan memang suka sok-sokan ingin menolong orang lain. Orang-orang yang butuh bantuan itu, gemar punya cita-cita menolong orang lain, lucu sekali.”

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa seringkali orang yang paling butuh pertolongan justru adalah mereka yang terlihat kuat dan selalu siap membantu orang lain.

Di balik topeng kebaikan dan kekuatan itu, mungkin tersimpan kepedihan yang mendalam.

Menjadi Pendengar, Bukan Hakim

Saat menghadapi seseorang yang memiliki kecenderungan bunuh diri, penting untuk menjadi pendengar yang baik.

Dengarkan tanpa menghakimi, dan bujuk mereka untuk mencari pertolongan profesional. Yakinkan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tekanan hidup.

Sebagaimana diungkapkan Syahid Muhammad dalam novelnya “Paradigma”: “Untuk kita dan kalian, yang merasa dibedakan atau terasing, oleh orang-orang atau bahkan oleh pikiran kalian sendiri… kita berhak punya tempat. Minimal dalam diri kita sendiri.”

Kita tidak berhak menjadi “juri” bagi mereka yang memilih jalan bunuh diri.

Seperti yang dikatakan Syahid: “Yahh, kita selalu bisa mengatakan apa yang benar, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana caranya. Kita selalu tahu jalan keluar permasalahan orang lain, tapi semua pengalaman itu nol besar ketika semua masalah itu datang pada kita.”

Bantuan Selalu Tersedia

Jika Anda atau orang terdekat mengalami kecenderungan bunuh diri, jangan ragu mencari bantuan. Dalam situasi darurat, hubungi nomor 112; nomor 119 ekstensi 8.

Ingatlah bahwa meskipun hidup terkadang terasa berat, selalu ada harapan dan bantuan yang tersedia.

“Kau tidak bisa begitu saja menghilangkan semua rasa sakit atau masalah yang ada tanpa kau hadapi dan kau selesaikan,” tulis Syahid Muhammad.

Mungkin kita tidak bisa menghilangkan semua rasa sakit, tapi kita bisa belajar untuk menghadapinya bersama-sama, saling menopang dalam badai kehidupan.

Seperti yang digambarkan dalam lagu “Dream Chaser Bengal” karya Aimyon, terkadang kita perlu melepaskan diri sejenak dan berlarian tanpa arah, mengabaikan beban yang ada di kepala kita.

“Run and run – throwing my whole body far across the distance, Round and round – peace or despair, let it fall by the wayside for now”.

Karena esok masih ada waktu untuk mengkhawatirkan masalah, saat ini mungkin yang kita butuhkan hanyalah ruang untuk bernapas dan bertahan.

Share:

Ocha

Pengangguran dadakan yang lagi nyari kerja di Jepang. Mimpi jadi karyawan kantoran ala anime sambil ngejar deadline. Kalau lagi nggak sibuk ngoding, pasti lagi baca novel detektif sambil ngebayangin jadi Sherlock Holmes versi Indonesia. Oh iya, NewJeans Never Die

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *