Don't Show Again Yes, I would!

Perekonomian Lesu Membuat Restoran di Singapura Berguguran

Foto: Unsplash

LiteX.co.id, Internasional – Industri kuliner di Negeri Singa memasuki fase tersulit dalam hampir dua dekade.

Sepanjang tahun lalu, lebih dari 3.000 pelaku F&B berhenti beroperasi, setara sekitar 250–307 gerai per bulan, dan tren penutupan kembali meninggi pada pertengahan 2025.

Gelombang ini tidak cuma menyapu pemain kecil. Restoran klasik Ka-Soh, ikon sup ikan berusia 86 tahun, menyajikan mangkuk terakhirnya pada 28 September.

Privé Group menutup seluruh jaringan per 31 Agustus, sementara Burp Kitchen & Bar ikut tumbang pada Juli 2025.

Tempat eksklusif Private Club 1880 di Robertson Quay juga memilih tutup karena arus kas tidak lagi mencukupi.

Kenaikan biaya sewa menjadi keluhan utama; pembaruan kontrak dilaporkan melompat 20–49%.

Di saat bersamaan, biaya konstruksi diperkirakan naik sekitar 30% dan biaya perawatan minimal 10%.

Ruko diburu investor, memicu ekspektasi imbal hasil tinggi dan menekan penyewa.

Beban tenaga kerja juga menanjak karena perebutan juru masak, pemain besar berani menggandakan gaji demi mengamankan staf.

Tanpa volume penjualan memadai, margin makin tergerus.

“Bahkan yang paling ‘sehat’ pun sulit bertahan,” ujar seorang mantan pemilik restoran, seperti dikutip dari CNBC, menilai kombinasi sewa, upah, dan biaya operasional telah “menutup ruang napas” pelaku kecil.

Indikator pasar menunjukkan sinyal redup: omzet restoran turun sekitar 5,6% (YoY) per Juni 2025, sedangkan kafe/pusat jajanan hampir stagnan (-0,1%). Ironisnya, jumlah gerai ritel F&B membengkak dari ~17.200 (2016) menjadi ~23.600 (2024).

Banyak pemain baru muncul, tetapi tak sedikit pula yang cepat tumbang, menjadi seleksi alam yang keras bagi gerai independen.

Perilaku konsumen juga bergeser. Lebih dari separuh warga, termasuk 59% Gen Z, menemukan tempat makan melalui media sosial.

Frekuensi makan di luar turun; pelanggan yang dulu datang 3–4 kali seminggu pada sebagian gerai kini menjadi sebulan sekali. Tanpa strategi digital yang rapi, visibilitas dan trafik cepat merosot.

Pada level makro, ekonomi Singapura ikut terkoreksi.

Nilai ekspor Juli 2025 turun ke 4,6%, terseret anjloknya pengiriman nonmigas ke AS lebih dari 40%.

Tekanan eksternal seperti tarif resiprokal 10% mempersempit ruang gerak—dan pada akhirnya menekan daya beli, yang menetes ke sektor F&B.

Sebagian pelaku mencoba bertahan dengan transformasi digital.

Marie’s Lapis Café mengangkat narasi warisan lewat video pendek, konsisten unggah konten, kolaborasi dengan kreator; dalam dua minggu, reservasi makan siang akhir pekan penuh dan bisnis naik ~30–40%.

Jaringan Keng Eng Kee Seafood memasang CRM dan membership untuk membaca preferensi pelanggan sekaligus menekan turnover staf.

Di ranah kebijakan, mengemuka usulan pelonggaran kuota tenaga kerja asing jangka pendek dan dukungan kepala SDM sebagai layanan bagi UKM.

Kelompok penyewa mendorong batas kenaikan sewa saat perpanjangan, misalnya dipatok pada inflasi atau pertumbuhan PDB, agar pelaku yang sudah membangun usaha 2–3 tahun tak tersapu lonjakan mendadak 50–70%.

Di lapangan, pelaku meminta ekosistem yang lebih seimbang: sewa rasional, pasokan tenaga kerja memadai, dan kebijakan pro-produktivitas.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *