LiteX.co.id, Internasional – Penulis Korea Selatan Baek Se Hee, sosok di balik buku fenomenal “I Want to Die But I Want to Eat Tteokbokki”, dikabarkan meninggal dunia dalam usia 35 tahun.
Kabar duka ini mengguncang dunia sastra internasional, terutama di kalangan pembaca yang menemukan ketenangan lewat tulisannya yang jujur dan penuh empati tentang perjuangan melawan depresi.
Dikutip dari The Straits Times pada Jumat (17/10/2025) bahwa penyebab kematian Baek tidak diungkapkan oleh pihak keluarga.
Namun, Badan Donasi Organ Korea menyebutkan bahwa hingga akhir hayatnya, Baek Se Hee tetap menunjukkan kepeduliannya kepada sesama dengan menjadi donor organ yang menyelamatkan lima nyawa melalui sumbangan jantung, paru-paru, hati, dan kedua ginjalnya.
Prosedur tersebut dilakukan di Rumah Sakit Layanan Asuransi Kesehatan Nasional Ilsan, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan — tempat kelahirannya.
Saudari perempuan Baek menyampaikan pesan haru dalam pernyataannya.
“Dia ingin menulis, berbagi isi hatinya, dan menumbuhkan harapan dalam diri orang lain. Ia adalah pribadi yang lembut dan tidak mampu menyimpan kebencian. Kami hanya berharap kini dia dapat beristirahat dalam kedamaian,” ucapnya.
Baek dikenal karena keberaniannya membahas isu kesehatan mental, topik yang masih dianggap tabu di sebagian masyarakat Asia.
Lewat dua bukunya, “I Want to Die But I Want to Eat Tteokbokki” (2018) dan sekuelnya “I Want to Die But I Still Want to Eat Tteokbokki” (2019), ia menulis dengan gaya dialog antara dirinya dan sang terapis, menggambarkan perjalanan panjangnya melawan distimia, bentuk depresi kronis yang berlangsung dalam jangka panjang namun sering tersembunyi di balik keseharian yang tampak normal.
Buku-buku tersebut diterjemahkan ke dalam lebih dari 25 bahasa, termasuk Inggris, Jerman, Spanyol, Italia, dan Jepang, menjadikannya bagian penting dari gelombang sastra Korea yang mendunia. Diterjemahkan oleh Anton Hur, kedua karya itu telah terjual lebih dari 600.000 eksemplar di Korea Selatan, dan terus mendapat sambutan hangat dari pembaca global.
Dalam salah satu wawancaranya di Singapore Writers Festival 2024, Baek dengan jujur menceritakan bahwa menulis adalah cara terbaik baginya untuk “menyembuhkan diri sambil membantu orang lain memahami bahwa rasa sakit mereka juga valid.”
Ia juga sempat mengungkap bahwa tteokbokki, kudapan khas Korea yang menjadi simbol dalam bukunya, menggambarkan momen sederhana di antara keinginan untuk menyerah dan kebutuhan untuk bertahan.
“Saya pernah ingin mati, tetapi kemudian saya lapar dan memutuskan makan tteokbokki. Saat itu saya sadar, mungkin keinginan untuk hidup masih ada di antara rasa lapar dan rasa sakit itu,” tulisnya dalam salah satu bagian bukunya yang paling terkenal.
Karya Baek menyuarakan perasaan banyak orang yang hidup dalam “ruang abu-abu”—terlihat baik-baik saja di luar, namun berjuang di dalam diam.
Ia pernah menulis, “Ada banyak orang yang tampak kuat, padahal di dalamnya mereka sedang berusaha keras untuk tidak hancur. Saya menulis untuk mereka.”
Bagi banyak pembaca, kepergian Baek Se Hee bukan sekadar kehilangan seorang penulis, melainkan kehilangan suara yang selama ini berani mengungkap luka-luka yang sering disembunyikan dunia modern. Meski ia telah pergi, pesan dan kehangatan yang tertulis dalam karyanya diyakini akan terus hidup di hati mereka yang pernah disentuh oleh tulisannya.