Don't Show Again Yes, I would!

Di Akhir Hayat, Baek Se Hee Donorkan Jantung, Paru-paru, dan Ginjalnya

LiteX.co.id, Internasional – Penulis Korea Selatan Baek Se Hee, sosok yang karya-karyanya telah memberi penghiburan dan harapan bagi banyak orang yang berjuang melawan depresi, berpulang di usia 35 tahun.

Di balik kabar duka yang mengguncang dunia sastra tersebut, Baek meninggalkan warisan kemanusiaan yang luar biasa, ia mendonasikan organ tubuhnya dan berhasil menyelamatkan lima nyawa manusia.

Menurut keterangan resmi dari Korea Organ Donation Agency, Baek Se Hee mendonasikan jantung, paru-paru, hati, dan kedua ginjalnya kepada pasien-pasien yang membutuhkan di Rumah Sakit Layanan Asuransi Kesehatan Nasional Ilsan, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan.

Keputusan tersebut dilakukan sesuai dengan keinginannya semasa hidup untuk tetap memberikan manfaat bagi sesama, bahkan setelah ia tiada.

Saudara perempuannya mengungkapkan dalam pernyataan resmi bahwa keputusan Baek mendonorkan organ bukan hal yang mengejutkan bagi keluarganya.

“Dia selalu ingin menulis, berbagi isi hatinya dengan orang lain, dan menumbuhkan harapan. Ia adalah pribadi lembut yang tidak mampu menyimpan kebencian. Saya percaya, kini ia bisa beristirahat dengan damai setelah memberi kehidupan bagi orang lain,” ujar sang adik, dikutip dari The Korea Herald.

Kabar meninggalnya Baek Se Hee menyentuh hati banyak penggemarnya di seluruh dunia. Bukan hanya karena karyanya yang memotret pergulatan batin dan depresi secara jujur, tetapi juga karena tindakannya yang mencerminkan nilai kemanusiaan tinggi.

Dalam hidupnya, Baek dikenal sebagai sosok yang terbuka tentang perjuangannya melawan gangguan distimia dan bipolar, serta upayanya untuk menemukan makna hidup melalui hal-hal kecil, seperti sepiring tteokbokki hangat yang menjadi simbol harapan dalam tulisannya.

Baek mulai dikenal luas setelah merilis buku “I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki” pada tahun 2018. B

uku itu merupakan kombinasi antara esai pribadi dan catatan terapi bersama psikiaternya.

Ia menulis dengan penuh kejujuran tentang rasa hampa, kelelahan emosional, dan usaha untuk tetap hidup di tengah tekanan sosial yang sering menuntut “kebahagiaan semu”.

Karya ini kemudian diikuti oleh sekuelnya pada 2019 dan berhasil terjual lebih dari 600.000 eksemplar di Korea Selatan, serta diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa di berbagai negara, termasuk Inggris, Spanyol, dan Indonesia.

Salah satu kutipan terkenal dari Baek yang kini banyak dibagikan ulang oleh pembacanya adalah:

“Saya pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, tapi lalu saya lapar dan makan tteokbokki. Saat itu saya sadar, mungkin masih ada alasan kecil untuk bertahan hidup.”

Bagi banyak orang, kutipan itu menggambarkan kekuatan dari hal-hal sederhana, bahwa hidup bisa tetap berarti meski terasa berat.

Karena itu, tak sedikit yang melihat tindakan Baek mendonorkan organ sebagai “bab terakhir” dari pesan yang selama ini ia tulis: tentang memberi kehidupan, meski dari kesakitan.

Penerbit Haru, yang merilis versi bahasa Indonesia dari buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki, juga menyampaikan duka mendalam.

Dalam unggahan resminya, mereka menulis, “Melalui tulisannya, Baek Se Hee telah menyelamatkan ribuan pembaca dari rasa putus asa. Kini, bahkan setelah kepergiannya, ia tetap menyelamatkan hidup, bukan hanya lewat kata-kata, tetapi juga melalui tubuhnya.”

Baek Se Hee bukan hanya meninggalkan karya, tetapi juga teladan nyata tentang cinta dan empati.

Tindakan donasi organ yang ia lakukan menjadi simbol kuat bahwa seseorang bisa terus memberi makna bagi kehidupan, bahkan setelah napas terakhirnya berhenti.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *