LiteX.co.id, Internasional – Ketegangan di Jalur Gaza kembali meninggi hanya sepekan setelah kesepakatan gencatan senjata berlaku.
Di tengah proses penarikan awal pasukan Israel dan upaya distribusi bantuan, saling tuding pelanggaran serta pernyataan keras dari Washington membuat masa tenang ini rapuh.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melontarkan ancaman bahwa pihaknya akan “menghabisi” Hamas jika serangan mematikan di Gaza berlanjut.
Ia menulis pernyataan itu di media sosial dan menegaskan bahwa pelibatan militer AS langsung tidak diperlukan.
“Bila Hamas terus membunuh orang di Gaza, yang bukan bagian dari kesepakatan, kita tak punya pilihan selain masuk dan menumpas mereka,” ujarnya, pada Sabtu (18/10/2025), seperti dikutip dari Detik dan AFP.
Sehari-hari sebelumnya, Trump juga mengatakan eksekusi di ruang publik yang dikaitkan dengan Hamas “tidak terlalu mengganggu” dirinya, karena menurutnya menyasar “kelompok geng yang sangat jahat”.
Di sisi lain, Komandan Komando Pusat AS (CENTCOM) Laksamana Brad Cooper mendesak Hamas untuk menghentikan penembakan terhadap warga sipil Palestina dan mematuhi seluruh butir gencatan senjata, pernyataan yang dirilis Rabu (15/10/2025).
Sinyal campur aduk dari Washington, antara ancaman, pengakuan tak mengerahkan pasukan, sampai dorongan kepatuhan, memperkeruh pembacaan publik atas arah kebijakan AS.
Di lapangan, Israel dan Hamas saling menyalahkan ihwal pelaksanaan kesepakatan. Tel Aviv menuntut pengembalian seluruh jenazah sandera sesuai perjanjian, sementara Hamas menuding Israel melepaskan tembakan yang menewaskan puluhan orang sejak gencatan dimulai.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku Jumat (10/10/2025), Hamas diwajibkan menyerahkan total 48 sandera, 20 orang hidup dan 28 jenazah.
Hamas telah mengembalikan 20 sandera hidup pada Senin (13/10/2025), dibarengi pembebasan 1.968 tahanan dan narapidana Palestina oleh Israel di hari yang sama.
Namun dari 28 jenazah, baru sembilan yang diserahkan; satu di antaranya kemudian dinyatakan bukan sandera oleh otoritas Israel.
Hamas menyebut sebagian jenazah terkubur di terowongan yang hancur dan tertimbun reruntuhan, sehingga membutuhkan alat berat untuk evakuasi.
Ketidakpastian juga tampak pada jalur bantuan. Kelompok ekstremis kanan Israel, Tsav9, diketahui merusak beberapa titik jalan di wilayah Israel dekat persimpangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) untuk menghambat masuknya truk bantuan.
Mereka beralasan Hamas belum memenuhi kewajiban terkait sandera, sehingga bantuan tak semestinya mengalir penuh. Aksi penghadangan ini bukan yang pertama; dokumentasi mereka kerap diunggah ke internet.
Meski demikian, arus bantuan mulai menapak, meski jauh dari cukup.
Warga Gaza berbagi kisah kecil tentang secangkir kopi instan dari paket bantuan, bahkan ada yang menyebut sumbangan itu berasal dari warga Indonesia, yang dinikmati “tanpa suara bom dan senapan”, unggahan yang muncul Minggu (12/10/2025).
Namun laporan kemanusiaan menegaskan kebutuhan dasar seperti pangan dan air bersih masih sangat kurang, sementara pembukaan penuh penyeberangan Rafah serta jaminan akses dua arah belum berjalan mulus.
Hamas mendorong para mediator, Mesir, Qatar, dan Turki, untuk menagih implementasi semua poin perjanjian: masuknya bantuan sesuai kebutuhan, normalisasi akses Rafah dari dua sisi, hingga tahapan awal rekonstruksi area yang hancur.
Di saat bersamaan, Trump mempromosikan rencana yang mengharuskan perlucutan senjata Hamas serta penghentian peran mereka dalam pemerintahan Gaza.
Ia memperingatkan bahwa jika pelucutan tak terjadi secara sukarela, “kami akan melucuti mereka, cepat dan mungkin dengan kekerasan,” ungkapnya pada Kamis (16/10/2025).
Di tengah saling tuding pelanggaran, dari klaim Israel menembak “untuk meredakan ancaman” karena garis demarkasi gencatan tak jelas, sampai tuduhan Hamas soal 24 korban jiwa sejak Jumat (10/10/2025), masa depan gencatan senjata dipertaruhkan oleh tiga hal: kepastian nasib para sandera, arus bantuan yang bebas hambatan, dan skema tata kelola Gaza pascaperang.
Tanpa kemajuan konkret pada tiga simpul ini, perdamaian yang diharap menjadi “awal Timur Tengah baru” hanya akan bertahan sebagai slogan.