LiteX.co.id, Nasional – Tragedi banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kini tak lagi dipandang sekadar fenomena alam semata.
Dua institusi besar, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), secara terpisah mengungkap adanya indikasi kuat campur tangan manusia dan aktivitas korporasi yang ugal-ugalan sebagai pemicu utama bencana tersebut.
Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dalam keterangannya menegaskan bahwa Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah bergerak cepat melakukan penyelidikan mendalam.
Hasilnya cukup mengejutkan, di mana puluhan entitas bisnis diduga turut andil dalam kerusakan bentang alam di Pulau Sumatera.
“Terkait bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Satgas PKH telah melakukan identifikasi dengan temuan yakni sejumlah besar entitas korporasi dan perorangan diindikasi dan berkontribusi terhadap bencana bandang,” ungkap Burhanuddin dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Rabu (24/12/2025), seperti dikutip dari Liputan6.
Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 27 korporasi telah diperiksa terkait dugaan alih fungsi lahan yang masif.
Guna memperkuat pembuktian secara saintifik, Satgas PKH menggandeng Pusat Riset Interdisipliner Institut Teknologi Bandung (ITB).
Berdasarkan hasil analisis ilmiah tersebut, ditemukan korelasi yang tidak terbantahkan antara perubahan fungsi hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan intensitas bencana yang terjadi.
Kombinasi mematikan antara curah hujan ekstrem dan hilangnya vegetasi hutan membuat tanah kehilangan daya serapnya.
“Ini menyebabkan daya serap tanah berkurang, aliran air permukaan meningkat tajam secara ekstrem, dan banjir bandang terjadi akibat air meluber ke permukaan,” tegas Burhanuddin.
Dampak dari kerusakan ini sangat fatal. Data menunjukkan korban jiwa akibat rangkaian bencana di tiga provinsi tersebut telah menembus angka lebih dari 1.000 orang.
Senada dengan temuan Kejagung, WALHI Sumatera Utara juga melontarkan tudingan keras terhadap aktivitas industri ekstraktif.
Organisasi lingkungan ini secara spesifik menuding tujuh perusahaan besar sebagai dalang di balik bencana ekologis yang menerjang Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.
Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, memaparkan bahwa kerusakan paling parah terjadi di zona penyangga Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru.
Kawasan yang sejatinya merupakan habitat satwa lindung seperti Orangutan Tapanuli dan Harimau Sumatera ini, kini kondisinya kritis akibat pembukaan lahan.
“Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan. Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia,” ujar Rianda di Medan.
WALHI mencatat dampak kerusakan yang luar biasa, mulai dari hancurnya ribuan rumah, rusaknya lahan pertanian, hingga lumpuhnya 51 desa di 42 kecamatan.
Atas kondisi ini, WALHI menuntut langkah konkret dari pemerintah.
Mereka mendesak agar operasional ketujuh perusahaan yang terindikasi merusak DAS Batang Toru segera dihentikan dan dievaluasi.
Selain itu, penegakan hukum pidana harus dijalankan tanpa pandang bulu terhadap para perusak lingkungan.
Pihak aktivis lingkungan juga meminta agar perlindungan ekosistem Batang Toru segera diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional, guna mencegah bencana serupa terulang di masa depan.






