Don't Show Again Yes, I would!

DNA Dinosaurus Tak Akan Pernah Ditemukan, Ini Alasannya

Foto: Unsplash

LiteX.co.id, Ragam – Selama empat dekade terakhir, kemajuan teknologi genetika telah membawa para ilmuwan menelusuri kembali jejak kehidupan purba melalui potongan DNA yang berhasil diidentifikasi dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan berusia jutaan tahun.

Rekor terkini dipegang oleh DNA berusia 2,4 juta tahun yang ditemukan di sedimen Greenland, tetapi apakah DNA benar-benar bisa bertahan lebih lama dari itu?

Ahli genetika evolusioner Tom Gilbert, Direktur Center for Evolutionary Hologenomics di Denmark, menjelaskan bahwa daya tahan DNA sangat bergantung pada lingkungan tempat fosil tersimpan.

Faktor suhu, kelembapan, dan paparan cahaya memainkan peran besar dalam menentukan apakah materi genetik tersebut masih bisa terbaca.

“Kita kini tahu, DNA tidak bertahan selama yang dibayangkan orang saat era Jurassic Park di tahun 1990-an, tapi juga tidak secepat hancur seperti yang sempat diyakini di awal 2000-an,” ujar Gilbert seperti dikutip Live Science.

Inspirasi awal penelitian DNA purba memang banyak dipicu oleh novel fiksi Jurassic Park karya Michael Crichton (1990), yang menggambarkan kebangkitan dinosaurus lewat ekstraksi DNA dari serangga yang terjebak dalam fosil amber.

Namun kenyataan ilmiah jauh berbeda, DNA tidak bisa bertahan puluhan juta tahun seperti dalam cerita tersebut.

Pada tahun 2012, Gilbert bersama timnya meneliti tulang burung moa yang telah punah dari Selandia Baru untuk memahami seberapa cepat DNA terurai seiring waktu.

Dari analisis ratusan sampel, mereka menemukan bahwa umur paruh DNA, waktu yang dibutuhkan hingga setengah ikatan DNA rusak, sekitar 521 tahun.

Dalam kondisi terbaik (dingin, gelap, dan kering), DNA diperkirakan hanya dapat bertahan hingga sekitar 6,8 juta tahun, terlalu singkat untuk menghidupkan makhluk Zaman Kapur seperti dalam film.

Ahli antropologi biologis Jennifer Raff dari University of Kansas menambahkan bahwa permafrost (tanah beku abadi) adalah lokasi paling ideal untuk menemukan DNA purba yang masih terjaga dengan baik.

Temuan tersebut menjelaskan mengapa rekor DNA tertua berasal dari sedimen Greenland berusia 2,4 juta tahun, serta mengapa genom mamut tertua yang berhasil diurutkan, sekitar 1,2 juta tahun, berasal dari Siberia.

Untuk manusia dan kerabat terdekatnya, kondisi pelestarian DNA jauh lebih menantang. Sebagian besar leluhur manusia berevolusi di wilayah tropis dan lembap, lingkungan yang mempercepat kerusakan molekul genetik.

DNA manusia purba pertama kali berhasil diidentifikasi dari tulang Neanderthal berusia sekitar 40.000 tahun, ditemukan di gua Kleine Feldhofer, Jerman, pada 1997.

Sementara DNA manusia tertua sejauh ini berasal dari situs Sima de los Huesos di Spanyol, berusia sekitar 400.000 tahun, yang mengungkap garis keturunan awal antara Neanderthal dan Denisovan.

Di Afrika, asal mula Homo sapiens, catatan DNA jauh lebih sedikit.

Kondisi iklim panas menyebabkan degradasi cepat, membuat DNA tertua dari kawasan sub-Sahara baru berusia sekitar 20.000 tahun.

Namun, penelitian paleoproteomik (analisis protein purba) mulai membuka celah baru.

Teknologi ini memungkinkan ilmuwan melacak ciri genetik dari spesies purba yang hidup 3–4 juta tahun lalu, meski peluang menemukan DNA utuh masih sangat kecil.

“Kita hampir mustahil mendapatkan DNA dari Australopithecus, karena semua fosilnya ditemukan di Afrika, tempat yang tidak mendukung pelestarian DNA,” kata Raff.

“Namun, untuk spesies seperti Homo erectus, yang ditemukan di wilayah Georgia atau Tiongkok, peluangnya masih adam,” tambahnya.

Meski hingga kini usia maksimum DNA yang terbaca adalah 2,4 juta tahun, Gilbert percaya kemungkinan masih ada DNA yang lebih tua di bawah lapisan es Antartika atau wilayah lain yang ekstrem dingin dan kering.

Namun, ia menegaskan satu hal penting: bukan hanya soal apakah DNA masih tersisa, tetapi apakah potongan yang ada cukup panjang untuk memberi informasi ilmiah yang berarti.

“DNA bisa saja bertahan lebih lama, tapi jika fragmennya terlalu pendek, kita tidak bisa mengidentifikasi asalnya,” ujar Gilbert.

Dengan demikian, kisah Jurassic Park mungkin tetap menjadi fiksi, tetapi penelitian DNA purba terus memperluas pemahaman kita tentang masa lalu, menunjukkan betapa rapuh sekaligus berharganya jejak genetik kehidupan di Bumi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *