LiteX.co.id, Nasional – Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa isu tarif ekspor produk tekstil dan alas kaki ke Amerika Serikat (AS) yang disebut mencapai 47% tidak sepenuhnya benar.
Penjelasan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (21/4/2025).
Menurut Djatmiko, besaran tarif yang dikenakan terhadap produk Indonesia sangat bervariasi tergantung jenis barangnya, dan tambahan tarif sebesar 10% yang diberlakukan oleh AS merupakan kebijakan tarif dasar baru (new baseline tariff).
“Tarif tambahan itu sifatnya umum, tapi tidak membuat semua produk Indonesia otomatis kena 47%. Misalnya, produk tekstil dan pakaian jadi awalnya dikenakan tarif antara 5% hingga 20%, kemudian ditambah 10%. Jadi rentang barunya menjadi 15% sampai 30%,” ujar Djatmiko.
Ia menambahkan, produk alas kaki yang sebelumnya dikenai tarif 8% hingga 20% juga mengalami peningkatan serupa, menjadi 18% sampai 30%.
Produk lain seperti furnitur kayu, perikanan, dan karet pun turut terdampak dengan kisaran penambahan berbeda-beda.
Selain tarif dasar baru, AS juga menerapkan skema tarif resiprokal atau tarif balasan sebesar 32%, namun untuk saat ini masih dalam masa penundaan selama 90 hari.
Jika tarif ini benar-benar diberlakukan, maka tarif total untuk produk tekstil Indonesia bisa meningkat signifikan.
“Kalau skenario tarif balasan ini aktif, maka tekstil yang awalnya 5%–20% bisa melonjak menjadi 37%–52%. Ini masih dalam tahap simulasi, dan kita harap tidak diberlakukan,” jelas Djatmiko.
Pernyataan ini sekaligus merespons informasi yang sempat berkembang di masyarakat bahwa tarif yang dikenakan langsung melonjak ke angka maksimal.
Padahal, kebijakan tarif AS sangat kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, termasuk jenis produk dan metode penghitungan (ad valorem maupun tarif spesifik).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia terus mendorong agar AS menerapkan tarif secara adil terhadap semua mitra dagangnya.
Ia menilai, tarif tinggi yang dikenakan terhadap produk unggulan RI seperti garmen, alas kaki, dan udang membuat daya saing Indonesia tertekan dibanding negara ASEAN lainnya.
Dalam pertemuan bilateral dengan USTR di Washington pada Jumat (18/4/2025), Indonesia menyuarakan keberatannya terhadap perlakuan tarif yang tidak seimbang.
“Kita berharap dalam 60 hari ke depan, negosiasi yang telah disepakati dengan pihak AS dapat menghasilkan solusi yang adil,” ujar Airlangga.
Airlangga juga menyebutkan bahwa tarif sektoral sebesar 25% akan diberlakukan secara khusus pada produk-produk seperti baja, aluminium, dan otomotif.
Apabila skema sektoral ini aktif, maka produk yang termasuk ke dalamnya tidak akan dikenai tarif dasar baru maupun tarif resiprokal.
Pemerintah kini berupaya memperluas pasar ekspor ke negara-negara alternatif seperti Kanada dan Peru guna mengantisipasi dampak dari kebijakan proteksionis AS yang terus meningkat.