LiteX.co.id, Nasional – Nilai tukar rupiah kembali mencatat sejarah kelam dengan menyentuh angka lebih dari Rp 17.000 per dolar Amerika Serikat di pasar keuangan luar negeri.
Tekanan terhadap mata uang Garuda ini dipicu oleh sejumlah faktor global yang semakin kompleks, mulai dari kebijakan tarif proteksionis AS hingga meningkatnya tensi geopolitik.
Data perdagangan non-deliverable forward (NDF) menunjukkan rupiah sempat berada di level Rp 17.059 per dolar AS pada Minggu pagi (6/4/2025), level terlemah sejak NDF mulai digunakan sebagai acuan pasar.
Padahal, sebelum libur Lebaran, rupiah masih berada di kisaran Rp 16.500-an per dolar AS.
Ekonom Ibrahim Assuabi menjelaskan bahwa penguatan dolar dipicu oleh data ekonomi Amerika Serikat yang menunjukkan hasil di atas ekspektasi, terutama dari sektor tenaga kerja.
“Ditambah dengan testimoni dari Federal Reserve yang mengisyaratkan belum waktunya menurunkan suku bunga, ini memperkuat daya tarik dolar,” ungkapnya.
Kebijakan tarif baru dari mantan Presiden AS Donald Trump juga ikut memperparah situasi.
Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena bea masuk sebesar 32 persen, sebuah pukulan telak bagi ekspor nasional.
“Sayangnya, alih-alih membalas secara setara, pemerintah Indonesia justru memilih jalur diplomasi,” tambah Ibrahim, seperti dikutip dari Tempo.co.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa BI terus melakukan intervensi lewat strategi tiga jalur: pasar spot, DNDF, dan surat berharga negara.
Namun, efektivitas langkah ini masih diragukan oleh para analis, mengingat tekanan eksternal yang sangat kuat.
Di sisi lain, ada yang melihat krisis ini sebagai peluang tersembunyi. Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, mendorong pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk memajukan sektor pariwisata lokal.
“Biaya ke luar negeri akan makin mahal, jadi saatnya kita dorong wisatawan untuk mengeksplorasi keindahan negeri sendiri,” ujarnya.
Berdasarkan data Mastercard Economics Institute, rata-rata biaya perjalanan ke luar negeri mencapai USD 1.200 per orang.
Dengan melemahnya rupiah, jumlah ini bisa melonjak drastis, mendorong masyarakat mengalihkan pilihan ke destinasi domestik.
Novita menekankan bahwa krisis ini seharusnya jadi pemicu reformasi sektor pariwisata dan tidak sekadar menjadi pilihan alternatif, tetapi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi.
“Kita perlu kebijakan fiskal yang progresif, insentif yang tepat, dan keyakinan kuat dari pelaku pasar,” katanya.
Sejalan dengan visi ekonomi nasional Presiden Prabowo yang menekankan kemandirian, pariwisata bisa menjadi motor baru pertumbuhan.
“Kebijakan Trump mungkin menimbulkan badai, tapi kalau dibaca dengan cermat, ini juga bisa jadi angin perubahan bagi arah ekonomi Indonesia,” pungkas Novita.