LiteX.co.id, Refleksi – Di antara cahaya layar yang berpendar dan notifikasi yang tiada henti, sesosok figur duduk menatap kekosongan. Jemari berhenti di atas keyboard, napas tertahan untuk sesaat.
Menjadi jurnalis di era digital bukanlah tentang sekadar menulis—ini adalah pertarungan melawan waktu, melawan algoritma, dan terkadang melawan diri sendiri.
Ketika fajar menyingsing, ribuan konten telah terlahir dan mati dalam hitungan jam. Kisah-kisah melintas bagai meteor, sekilas menyala lalu terlupakan.
Di tengah hujan informasi ini, generasi Z mengambil pena digital, bersiap menjadi penyuara kebenaran di tengah hutan belantara yang penuh ilusi.
Hari-hari berlalu dengan scroll tak berujung. Timeline yang tak pernah tidur. Feed yang selalu lapar akan konten baru.
Sebagai jurnalis Gen Z, hidup seolah terperangkap dalam paradoks—ingin memperlambat waktu untuk menghasilkan karya bermakna, namun dituntut berpacu dengan kecepatan cahaya demi tetap relevan.
Ingatkah saat pertama kali membuka aplikasi TikTok, hanya untuk menyadari tiga jam telah berlalu? Begitulah dunia konsumsi informasi sekarang. Cepat. Singkat. Dangkal.
Namun di tengah kebisingan ini, jurnalis sejati mencari kedalaman. Seperti mencari mutiara di dasar lautan yang penuh sampah digital.
Hari ini, sebuah hoaks dapat menyebar lebih cepat dari kebenaran. “Truth is not trending” kata mereka. Kebenaran tidak selalu viral, tidak selalu dapat menarik engagement.
Dalam dunia di mana bahkan kenyataan pun dipertanyakan, jurnalis Gen Z berdiri di garis tipis antara kecepatan dan ketelitian, antara sensasi dan substansi.
Dibesarkan bersama “FOMO” (Fear of Missing Out), para jurnalis muda mengetahui dengan sangat baik bahwa berita yang terlambat adalah berita yang mati.
Namun, tergesa-gesa tanpa verifikasi adalah jalan menuju kehancuran. Di sinilah tantangan terbesar: menemukan keseimbangan antara kecepatan dan akurasi.
Mata yang lelah menatap layar, otak yang terus memproses informasi tanpa henti, dan hati yang kadang bertanya: “Apakah semua ini masih berarti?” Burnout bukan lagi hantu yang menakutkan—ia telah menjadi teman sehari-hari.
Mental health adalah mata uang baru yang sering kali ditukar dengan deadline dan traffic.
Tidaklah mengherankan jika banyak jurnalis Gen Z yang merasa terjebak dalam “doom scrolling”—siklus membaca berita negatif tanpa henti, hingga jiwa mati rasa.
Era informasi yang dijanjikan sebagai pembebasan justru kadang menjadi penjara digital bagi para pewarta.
Istilah “touch grass” menjadi peringatan harian. Sentuh rumput, rasakan angin, tatap langit, kembalilah pada dunia nyata—jika masih ingat seperti apa rasanya.
Karena terkadang, untuk melihat kebenaran, seseorang harus melangkah keluar dari bubble informasi yang telah diciptakan oleh algoritma.
Menjadi jurnalis bukan lagi sekadar tentang meliput dan menulis. Ini tentang memahami SEO, algoritma media sosial, dan analytics.
Bagaimana mungkin Woodward dan Bernstein bertahan di era di mana headline harus mengandung keyword tertentu dan paragraf pertama harus memuat frasa yang tepat untuk memikat Google?
Di balik trending topic dan viral thread, kebenaran yang sejati kadang menunggu untuk ditemukan. Dalam dunia yang dipenuhi hot takes dan instant reactions, pemikiran yang mendalam menjadi barang langka. Jurnalis Gen Z paham benar bahwa terkadang, keheningan lebih bermakna daripada kebisingan konstan.
“No thoughts, just vibes” mungkin menjadi mantra generasi yang tumbuh dengan TikTok, tetapi sebagai jurnalis, pikiran kritis tak pernah boleh ditinggalkan.
Di tengah dunia yang menawarkan kepuasan instan, kesabaran untuk menggali kebenaran adalah perlawanan tersendiri.
Kenangan masa lalu ketika media masih dicetak di atas kertas kini tampak seperti nostalgia dari dunia lain. Namun esensi jurnalisme tetap sama: mencari dan menyampaikan kebenaran.
Bedanya, kini kebenaran itu harus bersaing dengan ribuan konten lain, berharap tidak hilang dalam algoritma yang mengutamakan engagement di atas segalanya.
Terkadang, ketika malam sunyi dan dunia maya mulai hening, pertanyaan itu datang: bagaimana tetap waras di tengah sandiwara informasi ini? Jawabannya mungkin sederhana namun sulit: dengan membatasi diri, dengan kembali pada prinsip, dengan ingat bahwa di balik setiap headline ada manusia yang nyata.
“Main character syndrome” adalah godaan besar di era di mana semua orang dapat menjadi content creator. Tapi jurnalis sejati tahu bahwa mereka adalah saksi, bukan bintang dalam cerita. Tugas mereka adalah menyoroti kisah orang lain, bukan menjadi pusat perhatian.
Tentu saja, dunia digital juga membawa berkah. Suara-suara yang dulu terbungkam kini dapat terdengar. Jangkauan yang tidak terbatas, kemampuan untuk terhubung dengan narasumber di seluruh dunia, dan akses pada data yang sebelumnya tidak terbayangkan—semua ini adalah kekuatan baru di tangan jurnalis Gen Z.
Ketika segalanya terasa terlalu banyak, terlalu cepat, terlalu berisik, jurnalis muda perlu ingat untuk “log off” sesekali.
Dunia tidak akan runtuh karena beberapa jam tanpa koneksi. Justru, dalam keheningan itulah terkadang kejernihan pikiran ditemukan.
Bahkan di tengah era “no cap” dan “for real”, komitmen pada kebenaran tetaplah absolut. Di antara “skibidi” dan “rizz”, ada tanggung jawab untuk menjaga integritas.
Karena ketika semua tren berlalu, yang tersisa adalah jejak digital yang telah ditinggalkan—apakah itu akan menjadi warisan kebenaran atau sekadar tambahan pada lautan dezinformasi?
Pada akhirnya, menjadi jurnalis Gen Z adalah tentang menemukan keseimbangan. Antara kecepatan dan ketelitian. Antara terhubung dan terisolasi. Antara mengikuti arus dan melawan arus.
Di dunia yang penuh dengan sandiwara, tugas jurnalis tidaklah berubah: menyibak tabir, mencari esensi, dan berbagi kebenaran—bahkan jika kebenaran itu tidak viral, tidak trending, tidak mendapat banyak likes.
Jalan ini tidak mudah. Tidak juga selalu terlihat. Tapi di setiap kata yang ditulis dengan kejujuran, di setiap kisah yang disampaikan dengan integritas, ada seberkas cahaya yang menerangi dunia yang terlalu sering diselimuti kabut informasi.
Dan mungkin, di situlah letak kewarasan itu—dalam komitmen untuk tetap menyalakan lilin kecil itu, meski badai dezinformasi terus mengancam untuk memadamkannya.
Karena pada akhirnya, di tengah riuh rendah dunia digital, suara kebenaran—meski lembut—akan selalu menemukan jalan untuk terdengar.
Dan tugas jurnalis Gen Z adalah memastikan suara itu tidak pernah berhenti bergema, dalam timeline manapun, di era apapun.