Don't Show Again Yes, I would!

Paradoks Informasi dan Peran Jurnalis yang Semakin Krusial

Foto: Pixabay

LiteX.co.id, Refleksi – Di tengah gemerlap layar dan deru algoritma, seorang jurnalis berdiri dengan pena dan keberaniannya.

Kita hidup dalam era paradoks—informasi begitu melimpah namun kebenaran semakin sulit ditemukan.

Seperti kata Hasan Aspahani dalam kumpulan esainya “Menolak Ayat-Ayat Fana” (2021), “Kebenaran bukan lagi soal fakta, melainkan siapa yang berteriak paling kencang”.

Di sinilah jurnalis sejati menentukan perannya—bukan sekadar penyampai berita, melainkan penjaga kewarasan publik.

Tinta yang mengalir dari pena seorang jurnalis adalah darah kebenaran di pembuluh demokrasi.

Namun, kita tengah menyaksikan bagaimana kebenaran bisa menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bahkan dikorbankan demi kepentingan tertentu.

Saat algoritma media sosial membentuk gelembung-gelembung informasi yang mengurung masyarakat dalam ruang gema, jurnalisme yang berintegritas menjadi cahaya penuntun di tengah kabut manipulasi.

Profesi jurnalis bukanlah sekadar mata pencaharian—ia adalah panggilan jiwa. Dalam kegalauan informasi yang bertebaran bagai serpihan kaca di jalanan digital, jurnalis bertugas menyusunnya menjadi cermin yang memantulkan realitas dengan jernih.

Sebagaimana ditulis oleh Najwa Shihab dalam bukunya “Catatan Najwa” (2019), “Jurnalisme bukan hanya soal memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa hal itu terjadi dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan bersama.”

Urgensi profesi jurnalis menjadi semakin nyata di era post-truth, ketika emosi dan keyakinan personal lebih berpengaruh daripada fakta objektif.

Fenomena ini telah dibahas mendalam oleh Yasraf Amir Piliang dalam “Dunia yang Berlari” (2018), di mana ia menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai “masyarakat yang kehilangan kemampuan membedakan yang nyata dan yang semu”.

Di tengah lautan informasi yang membingungkan ini, jurnalis berperan sebagai pemandu yang menunjukkan jalur navigasi menuju kebenaran.

Namun realitas di lapangan sering kali tidak seindah idealisme. Profesi yang seharusnya dilindungi undang-undang ini justru sering menjadi sasaran kekerasan.

Kasus pemukulan jurnalis ANTARA, Makna Zaezar, oleh anggota tim pengamanan Kapolri di Stasiun Tawang (2025) menjadi bukti nyata bagaimana kerja jurnalistik masih sering dihalangi, bahkan oleh institusi yang seharusnya menjamin kebebasan pers.

Meski Jenderal Listyo Sigit Prabowo kemudian menyampaikan permintaan maaf, kejadian ini menunjukkan bahwa penghormatan terhadap pers masih menjadi pekerjaan rumah bagi negara demokrasi seperti Indonesia.

Lebih mengerikan lagi, ancaman terhadap jurnalis tidak hanya berhenti pada intimidasi fisik.

Kasus teror terhadap kantor redaksi Tempo dengan pengiriman bangkai tikus tanpa kepala dan kepala babi tanpa telinga (Maret 2025) memberikan gambaran jelas tentang risiko psikologis yang dihadapi para jurnalis.

Teror semacam ini, menurut antropolog Geger Riyanto, memiliki simbolisasi kuat yang mengirimkan pesan ancaman secara psikologis, bertujuan untuk membungkam suara kritis media.

Bahkan, tragedi merenggut nyawa pun dapat menimpa jurnalis, seperti dialami Juwita (23), jurnalis dari Newsway.co.id yang tewas dibunuh di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Maret 2025).

Kasus-kasus ini hanyalah puncak gunung es dari tantangan luar biasa yang dihadapi para jurnalis Indonesia dalam menjalankan tugasnya.

Data yang disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menyebutkan bahwa sepanjang 2023 terdapat 101 kasus kekerasan terhadap jurnalis, sementara pada 2024, sudah tercatat 73 insiden.

Fakta bahwa mayoritas pelaku belum tertangkap semakin memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap insan pers di tanah air.

Di tengah berbagai ancaman dan tekanan, seorang jurnalis harus tetap tegak, seperti pohon beringin yang kokoh di tengah badai.

Integritas menjadi akar yang menancapkannya pada tanah kebenaran. Integritas bukanlah sebuah pilihan bagi jurnalis—ia adalah identitas.

Emha Ainun Nadjib pernah menuliskan dalam “Markesot Bertutur” (2019), “Kebenaran tanpa integritas hanyalah sebatas dogma, sementara integritas tanpa kebenaran adalah kemunafikan”.

Pernyataan ini seakan menegaskan bahwa kebenaran dan integritas adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam jurnalisme.

Generasi Z, yang tumbuh dengan informasi digital di ujung jari, memiliki hubungan unik dengan media. Mereka tidak lagi sekadar konsumen pasif, tetapi juga kreator dan kritikus aktif informasi.

Menurut penelitian dari Center for Digital Society UGM (2023), 78% Gen Z Indonesia mendapatkan informasi berita dari media sosial, namun hanya 32% yang melakukan verifikasi kebenaran berita tersebut.

Di sinilah peran jurnalis profesional menjadi lebih penting dari sebelumnya—menjadi pemilah informasi yang tepercaya di tengah tsunami konten.

Gen Z memahami bahwa platformer seperti Hasan Minhaj dan Trevor Noah bukanlah sekadar penghibur, tetapi juga komunikator kebenaran yang mengemas isu-isu kompleks dalam bentuk yang dapat dicerna. Jurnalis masa kini perlu belajar dari fenomena ini—bahwa kebenaran tidak harus dikemas kaku untuk dihormati.

Tantangan terbesar bagi jurnalis era digital bukanlah teknologi, melainkan menjaga kewarasan di tengah berbagai tekanan. Economic pressure (tekanan ekonomi), social pressure (tekanan sosial), bahkan death threats (ancaman pembunuhan) adalah bagian dari risiko profesi yang harus dihadapi.

Sebagaimana diungkapkan oleh Najib Assegaf dalam podcast “Ruang Tanya” (2024), “Jurnalis bukan hanya bertarung dengan deadline dan fakta, tetapi juga dengan sistem yang kadang menganggap kebenaran sebagai ancaman.”

Kode etik jurnalistik bukanlah sekadar aturan tertulis, melainkan kompas moral yang menuntun jurnalis di lautan disinformasi. Setri Yasra, Pemimpin Redaksi Tempo, membuktikan prinsip ini dengan pernyataannya saat menghadapi teror: “Jika tujuan mereka adalah menakuti kami, maka mereka gagal.” Sikap ini menunjukkan bahwa keberanian adalah buah dari integritas yang terpelihara.

Dibutuhkan lebih dari sekadar keterampilan teknis untuk menjadi jurnalis yang berintegritas di era digital. Dibutuhkan keteguhan hati untuk tetap mengabdi pada kebenaran ketika bohong lebih menguntungkan.

Dibutuhkan keberanian untuk melawan arus ketika mayoritas memilih diam atau berkompromi. Dan terutama, dibutuhkan kepekaan untuk tetap mendengar denyut kemanusiaan di balik setiap angka dan statistik.

Mari kita renungkan kembali kata-kata Edward R. Murrow, jurnalis pemberani yang melawan McCarthyisme: “Kita tidak bisa membela kebebasan di luar sana jika kita menyerah pada ketakutan di dalam sini”.

Di era digital yang membutakan ini, jurnalis sejati bukanlah mereka yang paling keras berteriak, melainkan mereka yang dengan tenang namun teguh menyuarakan kebenaran, meskipun itu berarti harus berdiri sendirian.

Dalam semesta yang terus berputar ini, jurnalis adalah penjaga narasi kemanusiaan kita. Hari demi hari, mereka menenun benang-benang realitas menjadi kain sejarah yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.

Dan di tengah sandiwara dunia yang semakin canggih, keberadaan jurnalis yang berintegritas menjadi lebih dari sekadar profesi—ia adalah benteng terakhir peradaban yang beradab.

Share:

Ocha

Seorang pengembang muda yang saat ini tengah mencari peluang kerja di Jepang. Memiliki ketertarikan besar pada dunia teknologi, budaya pop, dan fiksi detektif. Saat tidak sibuk mengotak-atik kode, ia senang membaca novel misteri dan membayangkan diri sebagai “Sherlock Holmes” versi Indonesia. Pecinta musik, terutama karya-karya NewJeans—yang menurutnya, akan selalu abadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *