LiteX.co.id, Nasional – Penyuluh pertanian di seluruh daerah, baik yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), segera akan ditarik kembali ke Kementerian Pertanian.
Langkah ini menjadi bagian dari terobosan kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat tercapainya swasembada pangan nasional.
Sejak dilantik pada Oktober 2024, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya Indonesia mencapai swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Salah satu langkah penting untuk mewujudkan hal ini adalah meningkatkan produktivitas pertanian sekaligus menghentikan ketergantungan pada impor bahan pangan pokok seperti beras dan jagung.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah merencanakan peralihan kewenangan penyuluh pertanian dari daerah ke pusat.
Kebijakan ini dinilai sebagai kunci keberhasilan, seperti yang pernah diterapkan di era Presiden Soeharto, ketika Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an.
Prof. Dedi Nursyamsi, yang berbicara dalam webinar bertajuk Peluang dan Tantangan Penyuluh Pertanian Ditarik ke Pusat pada Jumat (9/1/2025), mendukung penuh langkah tersebut.
Menurutnya, kebijakan menarik penyuluh ke pusat dapat meningkatkan efektivitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
“Jika seluruh aspek penyuluhan—termasuk ketenagaan, anggaran, kelembagaan, dan sarana prasarana—berjalan secara efektif, maka swasembada pangan akan tercapai,” ujarnya.
Dedi mengungkapkan bahwa pelayanan penyuluhan pertanian saat ini masih menghadapi berbagai kendala.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan penyuluhan pertanian beralih ke daerah.
Meski regulasi ini kemudian direvisi melalui UU Nomor 23 Tahun 2014, efektivitas program penyuluhan tetap belum maksimal.
Ia menyoroti bahwa sektor pertanian di tingkat daerah sering kali dianggap sebagai urusan pilihan, bukan prioritas.
Hal ini berdampak pada rendahnya anggaran, kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta tidak selarasnya program penyuluhan antara pusat dan daerah.
“Dukungan anggaran sering kali tidak memadai, SDM pertanian belum maksimal, dan kelembagaan di daerah justru menjadi lemah. Akibatnya, produktivitas pertanian kita stagnan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dedi menyatakan bahwa penyuluhan pertanian yang efektif membutuhkan sistem satu komando, seperti yang diterapkan di masa lalu.
Dengan pendekatan ini, sarana dan prasarana, termasuk pupuk, benih, alat mesin pertanian, dan pendampingan kepada petani, dapat berjalan lebih optimal.
“Jika penyuluh ditarik ke pusat, koordinasi dengan stakeholder akan lebih kuat, transfer pengetahuan ke petani akan berjalan lancar, dan pelayanan penyuluhan akan lebih maksimal,” tambahnya.
Dedi optimis bahwa kebijakan ini akan segera direalisasikan.
“Dalam waktu dekat, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penyuluh akan kembali berada di bawah kendali pusat,” tandasnya.