LiteX.co.id, Ragam – Di antara dentingan notifikasi dan teriakan kemenangan virtual, kita seakan kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga—sopan santun yang dulu menjadi mahkota kebanggaan bangsa Indonesia.
Bagaikan air yang perlahan mengikis bebatuan, zaman digital telah menggerus adab yang dulu begitu dijunjung tinggi oleh para leluhur kita.
Pernahkah kita berhenti sejenak dari scrolling tanpa henti, menengadah dari layar ponsel yang bercahaya biru, dan menatap cermin? Apakah yang terpantul masih wajah bangsa yang ramah dan bertutur kata lembut, ataukah sudah menjadi sosok asing dengan mulut yang terbiasa meludahkan kata-kata tajam?
Dalam percakapan game online seperti Mobile Legends, Free Fire, atau PUBG, kata-kata kasar telah menjadi semacam bahasa pergaulan baru. “GG EZ”, “Noob”, hingga makian dan umpatan yang tak patut diucapkan, bertebaran bagai sampah digital yang mendarat tanpa beban di telinga para pemainnya.
Pahitnya, frasa-frasa ini kemudian dibawa keluar dari dunia virtual, menginfeksi percakapan sehari-hari, membuatnya terdengar normal dan dapat diterima.
Betapa kita telah terbiasa mendengar anak-anak muda membicarakan bagian intim tubuh manusia dengan santai di tempat umum, seolah membahas cuaca.
Mereka tertawa dan bercanda, tak menyadari tatapan prihatin dari mereka yang masih memegang teguh nilai kesopanan. “Itu hanya jokes,” kilah mereka, tanpa menyadari bahwa setiap kata yang mereka ucapkan adalah batu bata yang membangun karakter diri.
Seperti ungkapan Shin Do Hyun, “Mari kita jaga bentuk dan kesopanan dalam tutur kata kita. Dengan begitu, orang-orang akan lebih memperhatikan apa yang kita ucapkan”.
Namun ironis, justru di era informasi inilah kita semakin kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan penuh adab.
Pernahkah kita berpikir, bagaimana rasanya bagi generasi terdahulu melihat pergaulan masa kini? Setiap kata kasar yang meluncur dari mulut generasi Z adalah sayatan di hati para kakek nenek yang dulu berjuang membangun bangsa dengan tutur kata yang santun dan bermartabat.
Seolah mereka melihat warisan budaya yang mereka bangun dengan susah payah, kini runtuh perlahan di tangan penerusnya.
Sungguh, kita seakan hidup dalam dualisme yang membingungkan. Di satu sisi, kita bangga menjadi generasi paling terhubung dalam sejarah manusia.
Di sisi lain, konektivitas ini justru membuat kita semakin terisolasi dari nilai kemanusiaan yang paling dasar—saling menghormati dalam ucapan dan tindakan.
Mungkin benar kata mereka, bahwa zaman telah berubah. Namun, apakah nilai kesopanan dan adab juga harus turut berubah? Apakah kemajuan teknologi harus dibayar dengan kemunduran moral? Ketika kita begitu sibuk mengupgrade perangkat, mengapa kita justru men-downgrade cara berkomunikasi?
Saat bermain game online, kita berlomba mencapai “Mythic Glory” atau “Conqueror”, namun ironisnya, kita melupakan pencapaian terpenting—menjadi manusia yang berbudi.
Game-game ini mengajarkan kita strategi dan kerjasama, tetapi gagal mengingatkan kita tentang etika berbahasa yang baik.
Layaknya filter kamera yang membuat dunia terlihat lebih indah dari kenyataan, kita pun telah menciptakan filter dalam berkomunikasi—filter yang menyaring kesantunan dan hanya menyisakan kebebasan berekspresi tanpa batas.
Kita menyebutnya “jujur” dan “apa adanya,” padahal sesungguhnya itu adalah bentuk kemalasan untuk berpikir sebelum berbicara.
Jalan pulang mungkin masih panjang, tetapi tidak mustahil untuk dilalui. Kita, generasi digital, masih bisa memperbaiki retakan pada cermin adab bangsa.
Mulailah dari hal sederhana—berpikir sejenak sebelum mengetik komentar, menahan jari sebelum menekan ‘send’ pada pesan yang mungkin menyakiti, dan yang terpenting, menyadari bahwa di balik setiap username adalah manusia dengan perasaan.
Sebagaimana kata Shin Do Hyun, ketika kita mendengarkan orang lain, kita tidak perlu terlalu fokus pada kesopanan kata-katanya. Namun, ini bukan berarti kita sendiri bebas berbicara sembarangan.
Kesantunan dalam berbahasa adalah cerminan diri, bukan sekadar aturan kaku yang membatasi.
Mari berkomitmen untuk membawa kembali mahkota sopan santun yang telah lama terlepas dari kepala bangsa ini.
Mari membuktikan bahwa generasi Z tidak hanya hebat dalam menguasai teknologi, tetapi juga dalam melestarikan nilai-nilai ketimuran yang adiluhung.
Karena sesungguhnya, kehebatan sejati tidak diukur dari seberapa “savage” kita dalam game, melainkan seberapa santun kita dalam kehidupan nyata.
Keresahan ini bukanlah sekadar keluhan tanpa solusi. Ini adalah panggilan untuk introspeksi kolektif. Sebuah ajakan untuk memahat kembali identitas bangsa yang nyaris terkikis oleh arus globalisasi digital.
Apakah kita akan terus membiarkan jari-jari kita menari di atas keyboard, menuliskan kata-kata yang melukai? Ataukah kita akan kembali pada hakikat diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi tata krama?
Jawabannya ada di genggaman kita. Bukan di genggaman ponsel yang berisi game-game tersebut, tetapi di dalam hati yang masih mampu merasa dan pikiran yang masih mampu membedakan mana yang patut dan mana yang tidak.
Semoga kita tidak terlambat dalam menyadari bahwa sopan santun bukanlah barang antik yang layak dipajang di museum, melainkan senjata ampuh dalam membangun peradaban yang bermartabat di era digital.